Senin, 09 Januari 2012

AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH MENGIKUTI SUNNAH RASULULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM SECARA LAHIR DAN BATHIN

AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH MENGIKUTI SUNNAH RASULULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM SECARA LAHIR DAN BATHIN [1]


Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


Termasuk jalan Ahlus Sunnah wal Jama’ah yaitu mengikuti Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam secara lahir dan batin dan mengikuti jalannya orang-orang yang terdahulu dari kaum Muhajirin dan Anshar.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَّضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
 “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha terhadap mereka dan mereka ridha kepada Allah. Allah menyediakan bagi mereka Surga-Surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” [At-Taubah: 100][2]

Mereka mendahulukan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala dari semua perkataan manusia yang ada. Mendahulukan petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dari petunjuk semua orang. Maka yang demikian inilah, mereka disebut atau dikatakan Ahlul Qur-an dan Sunnah.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
 “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Mahamendengar lagi Mahamengetahui.” [Al-Hujuraat: 1]

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَن يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ وَمَن يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَخْشَ اللَّهَ وَيَتَّقْهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَائِزُونَ 
 “Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan: ‘Kami mendengar, dan kami patuhi.’ Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertaqwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang mendapatkan kemenangan.” [An-Nuur: 51-52]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنِّي قَدْ تَرَكْتُ فِيْكُمْ شَيْئَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا بَعْدَهُمَا: كِتَابَ اللهِ وَسُنَّتِيْ، وَلَنْ يَتَفَرَّقَا حَتَّى يَرِدَا عَلَيَّ الْحَوْضَ.
 “Aku tinggalkan kepadamu dua perkara yang kalian tidak akan tersesat apabila (berpegang teguh) kepada keduanya, yaitu Kitabullah dan Sunnahku, keduanya tidak akan berpisah, sehingga keduanya datang kepadaku di Telaga (al-Haudh).”[3]

Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:

مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِيْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ فَتَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ.
 “Sungguh, orang yang masih hidup di antara kalian sepeninggalku kelak akan melihat perselisihan yang banyak, maka wajib atasmu memegang teguh Sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Gigitlah ia dengan gigi gerahammu. Dan jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang baru, karena sesungguhnya setiap perkara-perkara yang baru itu bid’ah. Dan setiap bid’ah itu sesat.”[4]

Al-Qur-an, As-Sunnah dan Ijma’ Sahabat adalah tiga prinsip utama yang Ahlus Sunnah berpegang dengannya dalam ilmu dan agama. Mereka menimbang dengan tiga pokok ini semua yang dikatakan dan yang dikerjakan oleh manusia secara lahir dan bathin dari apa-apa yang berkaitan dengan masalah agama.
Adapun ijma’ yang berlaku yaitu, apa yang telah diijma’kan oleh Salafush Shalih, karena orang-orang sesudah mereka telah banyak ikhtilaf dan umat ini sudah berpencar ke seluruh penjuru dunia. Sebagaimana perkataan Imam Ahmad bin Hanbal t: “Barangsiapa yang mengklaim (menyatakan) adanya ijma’ setelah masa Salafush Shalih, maka ia telah berdusta.” [5]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, ketika menjelaskan manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam masalah-masalah prinsip tertentu, beliau menyebutkan manhaj yang menyeluruh dalam agama ini, baik masalah ushul (pokok) maupun furu’ (cabang), bahwa mereka (Ahlus Sunnah) itu menempuh jalan yang lurus dan pegangan yang bermanfaat dari al-Kitab dan As-Sunnah, mereka mengikuti orang yang paling tahu tentang Islam dan paling dalam ilmunya, serta paling ittiba’ kepada Al-Qur-an dan As-Sunnah, yaitu para Sahabat Radhiyallahu anhum. Mereka mengikuti Khulafaur Rasyidin secara khusus, serta mereka berjalan di jalan Allah dengan diiringi prinsip-prinsip yang mulia ini. Apapun yang dikatakan manusia atau merupakan pendapat-pendapat madzhab di mana orang mengikutinya, maka Ahlus Sunnah menimbang dengan tolok ukur Al-Qur-an, As-Sunnah dan ijma’ Sahabat dari generasi terbaik umat ini, maka luruslah jalan mereka. 

Ahlus Sunnah selamat dari bid’ah-bid’ah perkataan yang menyalahi apa yang dikatakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Sahabat dalam masalah i’tiqad, sebagaimana mereka selamat dari bid’ah-bid’ah amaliyah, mereka tidak beribadah dan tidak mengadakan syari’at melainkan dengan apa yang disyari’atkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam.[6]

Kesimpulannya, Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah mereka yang berpegang teguh kepada Al-Qur-an dan As-Sunnah yang shahih menurut pemahaman Salafush Shalih, mereka melaksanakan Tauhid kepada Allah dan mendakwahkan kepada manusia untuk bertauhid dan mengikhlaskan ibadah semata-mata karena Allah, mereka menjauhkan segala bentuk kemusyrikan dan penghambaan kepada selain Allah. Ahlus Sunnah melaksanakan Sunnah-Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, menghidupkannya dan mengajak kaum Muslimin untuk berpegang kepada Sunnah serta mereka menjauhkan segala macam bentuk bid’ah baik dalam masalah i’tiqad maupun amaliah. Karena setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka.

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi]
_______
Footnote
[1]. At-Tanbiihaatul Lathiifah (hal. 101-103).
[2]. Lihat juga QS. Al-Baqarah: 143 dan an-Nisaa’: 115.
[3]. HR. Al-Hakim (I/93) dan al-Baihaqi (X/114) dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dan Malik dalam al-Muwaththa’ pada bab an-Nahyu ‘anil Qaul bil Qadar (hal. 686). Ini adalah lafazh al-Hakim, sanad hadits ini hasan.
[4]. HR. Ahmad (IV/126-127), Abu Dawud (no. 4607) dan at-Tirmidzi (no. 2676), ad-Darimi (I/44), al-Baghawi dalam kitabnya Syarhus Sunnah (I/205), al-Hakim (I/95) dan lainnya. Dishahihkan dan disepakati oleh Imam adz-Dzahabi dan dishahihkan juga oleh Syaikh al-Albani dalam Irwaa-ul Ghaliil (no. 2455), dari Sahabat ‘Irbadh bin Sariyah Radhiyallahu anhu.
[5].I’laamul Muwaqqi’iin (II/54) oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, tahqiq Syaikh Masyhur Hasan Salman. Cet. I-Daar Ibnil Jauzi, th. 1423 H.

wallahu a'lam....

Minggu, 17 Juli 2011

PERUSAK KEISLAMAN

PERUSAK KEISLAMAN


Allah Azza wa Jalla telah memberikan karunia yang sangat berharga kepada umat ini. Diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai Rasulullâh dengan membawa agama Islam merupakan nikmat agung. Allah Azza wa Jalla berfirman :

لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِّنْ أَنفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا مِن قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ

Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orangorang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-kitab dan al-hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benarbenar dalam kesesatan yang nyata. [Ali Imrân/3:164]

Oleh karena itu, kita wajib mensyukuri, menjaga dan memohon kepada Allah Azza wa Jalla agar kita dilindungi dari segala yang bisa merusak nikmat yang sangat berharga ini. Selama kita masih diberi kesempatan hidup oleh Allah Azza wa Jalla, janganlah kita merasa bahwa nikmat ini (Islam) akan tetap ada dan terpelihara pada diri kita. Nabi Ibrâhîm Alaihissallam, meski beliau Alaihissallam telah menghancurkan berhala yang disembah oleh kaumnya kala itu, beliau Alaihissallam tetap mengkhawatirkan diri beliau. Beliau Alaihissallam berdo’a :

وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَن نَّعْبُدَ الْأَصْنَامَ

Dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku dari penyembahan terhadap berhala-berhala [Ibrâhîm/14:35]

Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengajarkan kepada kita agar berdo’a kepada Allah Azza wa Jalla supaya kita diberi ketetapan hati di atas nikmat yang agung ini. Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sering membaca doa :

يَا مُقَلِّبَ الْقُلُو بِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ

Wahai Dzat yang membolak-balik hati, tetapkanlah hatiku pada agama-Mu

Apalagi di zaman seperti sekarang ini, saat kepedulian terhadap agama ini mengalami penurunan drastis. Sementara para penyeru kesesatan bebas berkeliaran untuk menjajakan kesesatan lewat berbagai media. Kesesatan-kesesatan yang mereka jajakan dibungkus dengan kulit indah mempesona. Sehingga tak mengherankan, karena ketidaktahuan, banyak orang yang silau dan menerima kesesatan ini sebagai sebuah kebenaran yang dijadikan sebagai pedoman. Akibatnya, yang benar dianggap suatu yang keliru dan sebaliknya, kekufuran dianggap sebuah kemajuan dan dielu-elukan. Na’udzubillâh. Nikmat Islam ini berangsur-angsur hilang dari seseorang, akhirnya dia murtad (keluar dari Islam) dan statusnya berubah menjadi kafir.

Para Ulama’ sejak zaman dahulu telah memberikan porsi perhatian lebih terhadap masalah-masalah yang bisa menyebabkan seseorang menjadi murtad (keluar dari agama Islam) ini. Mereka telah menyusun kitab kitab untuk menjelaskan permasalahan ini. Mereka juga membuat bab khusus dalam kitab-kitab fikih yang mereka sebut dengan “Bab Hukum Murtad”. Dalam bab ini, mereka menjelaskan dan memberikan perincian tentang hal-hal yang bisa membatalkan keislaman seseorang dan juga hukum orang yang melakukan pembatal-pembatal ini.

Banyak hal yang bisa menyebabkan seseorang menjadi murtad. Di antaranya, ada yang berbentuk perkataan, perbuatan, keyakinan dan keragu-raguan. Perkataan-perkataan yang dilontarkan seseorang terkadang bisa menyebabkan dia menjadi kafir ketika itu juga. Begitu juga dengan tindakan yang dilakukan seseorang atau keyakinan kuat dalam hati yang dipegangi dengan erat-erat ataupun keraguan-raguan yang dipendam dalam hatinya terkadang bisa menyeret seseorang ke lembah kekufuran. Na’ûdzubillâh.

MURTAD DENGAN SEBAB PERKATAAN
Syaikh Shâlih Fauzân hafizhahullâh mengatakan, “Seseorang bisa murtad dengan sebab perkataan jika dia mengucapkan kalimat kufur atau syirik, bukan dalam keadaan terpaksa, baik serius, gurau atau bercanda. Jika ada orang yang mengucapkan kufur, maka dia dihukumi murtad, kecuali jika dia terpaksa mengucapkannya. Allah Azza wa Jalla berfirman :

وَلَقَدْ قَالُوا كَلِمَةَ الْكُفْرِ وَكَفَرُوا بَعْدَ إِسْلَامِهِمْ

Sesungguhnya mereka telah mengucapkan perkataan kekafiran, dan telah menjadi kafir sesudah Islam. [at-Taubah/9:74]

Tentang orang-orang yang mencela Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat Radhiyallahu ‘anhum dengan mengatakan, “Kami tidak pernah melihat orang-orang yang sama dengan para ahli baca kita (maksudnya Rasulullâh dan para Sahabat), ”Mereka ini ucapannya bohong, lebih memikirkan perut dan paling pengecut saat berjumpa musuh, Allah Azza wa Jalla berfirman :

وَلَئِن سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ ۚ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ 

Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah, “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan rasul-Nya kamu selalu berolokolok?” Kalian tidak usah minta maaf, karena kalian telah kafir sesudah beriman. [at-Taubah/9:65-66]

Ketika tahu Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa salalm menerima wahyu tentang ucapan mereka, mereka bergegas menemui Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, menjelaskannya dan meminta maaf. Namun Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bergeming.” Selanjutnya Syaikh Shalih Fauzân hafidzahullâh menyimpulkan, “Ini menunjukkan bahwa orang yang mengucapkan kalimat-kalimat kufur bukan karena terpaksa, bisa menjadi kafir, meskipun dia menganggap sedang bermain, bergurau atau demi menghibur orang lain. Ini juga sebagai bantahan terhadap golongan Murji’ah yang berpendapat bahwa seseorang tidak bisa kafir dengan sebab perkataan semata kecuali kalau perkataan itu disertai keyakinan dalam hati.” [1]

Syaikh Bin Bâz rahimahullah memberikan contoh perkataan yang bisa menyeret seseorang ke dalam jurang kekufuran yaitu mencela Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya, seperti mengatakan, “Allah Azza wa Jalla zhalim; Allah Azza wa Jalla bakhîl; Allah Azza wa Jalla faqîr; Allah Azza wa Jalla tidak mengetahui sebagian masalah, Allah Azza wa Jalla tidak mampu dalam sebagian masalah. [2]

Beliau rahimahullah juga memasukkan perkataan, “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak mewajibkan kita melakukan shalat.” dalam perkataan kufur. Beliau rahimahullah mengatakan, “Orang yang mengucapkan perkataan ini telah kafir, keluar dari agama Islam, berdasarkan ijmâ’. Kecuali jika dia memang tidak tahu dan bertempat tinggal di daerah terpencil, jauh dari kaum Muslimin. Orang seperti ini harus diajari. Jika setelah diajari, dia masih seperti itu, berarti dia kafir. Sedangkan jika orang yang mengucapkan itu, orang yang berdomisili di tengah kaum Muslimin serta memahami ajaran-ajaran agama, maka ini merupakan sebuah kemurtadan. Orang ini harus diminta supaya bertaubat. Jika dia bertaubat maka alhamdulillâh, namun jika tidak maka dia kenai hukuman mati.” [3]

Termasuk perkataan yang bisa menyebabkan kekufuran yaitu berdo’a kepada selain Allah Azza wa Jalla, seperti ucapan, “Wahai Fulan! bantulah saya, selamatkanlah saya! Sembuhkanlah saya!” yang diarahkan kepada orang yang sudah meninggal atau kepada jin, setan atau kepada orang yang sedang tidak ada di lokasi permohonan. Ini termasuk ucapan kekufuran. [4]

Ucapan-ucapan kufur ini jika terpaksa diucapkan, misalnya diancam dibunuh atau akan disiksa jika tidak mengucapkannya, maka ketika itu si pengucap tidak dihukumi kafir, dengan syarat hatinya tetap teguh meyakini Islam. Sebagaimana kisah ‘Amâr bin Yâsir Radhiyallahu ‘anhu yang terpaksa mengucapkan kalimat kufur setelah dipaksa oleh orang-orang kafir dengan berbagai siksa. Allah Azza wa Jalla berfirman :

إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ

Kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa). [an-Naml/16:106] 

MURTAD DENGAN SEBAB PERBUATAN
Syaikh Bin Bâz rahimahullah memberikan contoh perbuatan-perbuatan yang bisa menyebabkan pelakunya terjerumus dalam kemurtadan yaitu : 

a). Sengaja meninggalkan shalat meskipun dia tetap meyakini shalat itu wajib, menurut pendapat yang terkuat dari dua pendapat dalam masalah ini. Ini merupakan sebuah tindakan kemurtadan. Berdasarkan sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

الْعَهْدُ الَّذِي بَيْنَنَا وَ بَيْنَهُمْ الصَّلاَ ةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ

Batas antara kita dengan mereka adalah shalat, barangsiapa yang meninggalkan shalat berarti dia telah kafir. [HR Ahmad, at-Tirmidzi, an-Nasâ’i, Ibnu Mâjah dengan sanad shahîh]

Juga Sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَ ةِ

Batas antara seseorang dengan kesyirikan serta kekufuran adalah meninggalkan shalat. [HR Imam Muslim dalam shahîh beliau rahimahullah]

b). Melecehkan al-Qur’ân dengan cara diduduki, dilumuri benda najis atau diinjak. Orang yang melakukan perbuatan ini telah murtad dari Islam.

c). Melakukan ibadah thawaf di kuburan (mengelilinginya-red) dengan tujuan mendekatkan diri atau menyembah penghuni kuburan. Sedangkan thawaf dikuburan dengan tujuan beribadah kepada Allah Azza wa Jalla, maka ini termasuk perbuatan bid’ah yang bisa menggerogoti dien seseorang. Ini juga sebagai salah satu pintu kesyirikan. Hanya saja pelakunya tidak sampai murtad. 

d). Menyembelih untuk selain Allah Azza wa Jalla, misalnya menyembelih binatang dengan tujuan beribadah kepada penghuni kubur; beribadah kepada jin dan lain sebagainya. Daging binatang yang disembelih itu hukum haram untuk dikonsumsi sedangkan orang yang melakukan ritual ini telah murtad, keluar dari Islam. [5]

Syaikh Shâlih Fauzân hafizhahullâh menegaskan bahwa orang yang menyembelih untuk berhala, patung atau sujud kepadanya, maka dia telah menjadi musyrik , meskipun dia masih shalat,puasa dan haji. Karena keislaman telah batal dengan sebab perilaku syiriknya. Na’ûdzubillâh.[6]

MURTAD DENGAN SEBAB KEYAKINAN
Keyakinan dalam kalbu seseorang bisa menyebabkan dia selamat atau sebaliknya bisa membawa petaka yang tidak berkesudahan jika dia meninggal sebelum bertaubat. Meskipun keyakinan ini tidak terucap atau belum mampu diwujudkan dalam dunia nyata. Di antara contoh keyakinan berbahaya ini adalah: 

a). Berkeyakinan bahwa Allah Azza wa Jalla itu fakir, zhalim memiliki sifat buruk lainnya. Meskipun ini belum terucap, orang yang memendam keyakinan ini telah keluar dari Islam menurut ijmâ’ kaum Muslimin.

b). Berkeyakinan bahwa tidak ada hari kebangkitan setelah kematian atau berkeyakinan bahwa itu hanya ilusi yang tidak ada dalam alam nyata, tidak ada surga dan neraka.

c). Berkeyakinan bahwa Rasul terakhir, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak jujur serta berkeyakinan bahwa Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam bukan rasul terakhir. Keyakinan ini menyebabkan kekufuran meskipun orang yang meyakini hal ini tidak mengucapkannya.

d). Berkeyakinan bahwa berdoa atau beribadah kepada selain Allah Azza wa Jalla tidak apa-apa, seperti berdoa atau beribadah kepada para nabi, matahari, bintang-bintang atau lain sebagainya. Allah Azza wa Jalla berfirman :

ذَٰلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِن دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ

(Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah Karena Sesungguhnya Allah, dialah (Rabb) yang Hak dan Sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah, Itulah yang batil, [al-Hajj/22:62]

Dan masih banyak dalil lain yang semakna. Jadi orang yang berkeyakinan bahwa seseorang boleh beribadah kepada selain Allah Azza wa Jalla berarti dia telah kafir. Jika keyakinan ini diucapkan dengan lisannya berarti dia kafir dengan dua sebab yaitu ucapan dan keyakinan. Jika ada yang seperti itu lalu dia juga berdo’a kepada selain Allah Azza wa Jalla berarti dia kafir dengan tiga sebab sekaligus, ucapan, keyakinan dan perbuatan. 

Termasuk dalam point ini, apa yang dilakukan oleh para penyembah kuburan saat ini di berbagai daerah. Mereka mendatangi kuburan orang-orang yang dianggap shalih atau dianggap wali lalu mereka meminta tolong kepadanya. Orang yang melakukan seperti ini berarti dia telah kafir dengan tiga sebab yaitu keyakinan, perkataan dan perbuatan [7].

MURTAD DENGAN SEBAB RAGU
Jika ada seseorang yang meragukan kebenaran risalah yang dibawa oleh Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau meragukan keberadaan hari kebangkitan setelah kematian atau keberadaan surga dan neraka, maka orang ini telah kafir. Meskipun dia masih shalat, puasa atau melakukan berbagai amal kebaikan, selama hatinya masih menyimpan keragu-raguan maka dia tetap kafir. Namun, yang perlu kita ingat, bahwa kita sebagai manusia hanya bisa menghukumi secara zhahir saja [8].

Artinya, jika kita melihat seseorang yang secara zhahir dia melakukan shalat, puasa, haji, zakat dan lain sebagainya, maka kita menghukumi dia sebagai seorang Muslim dan kita perlakukan sebagai seorang Muslim. Jika dia meninggal kita shalatkan dan dimakamkan sebagaimana syari’at Islam. Sedangkan keyakinan yang tersembunyi dalam hatinya, yakinkah dia ataukah ragu, beriman ataukah kafir, hanya Allah Azza wa Jalla yang tahu.

Inilah empat hal yang bisa menyebabkan seseorang menjadi murtad :
- Mengucapkan kalimat kufur atau syirik, bukan karena terpaksa.
- Meyakini suatu yang kufur atau syirik.
- Melakukan perbuatan kufur atau syirik.
- Ragu terhadap kebenaran dien yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
.
Sebagai seorang Muslim yang mendambakan keselamatan dunia dan akhirat, maka seharusnya kita berusaha sekuat tenaga untuk menjaga agar jangan sampai keyakinan kita terhadap agama ini tidak terkikis sedikit demi sedikit akibat dari perbuatan kita sendiri, yang pada gilirannya nanti hilang. Na’ûdzubillâh.

Semoga Allah Azza wa Jalla menjauhkan kita dari segala yang bisa merusak atau membatalkan keislaman kita. Amin

MARÂJI :
- Majmû’ Fatâwâ Wa Maqâlât Mutanawwi’ah, Syaikh ‘Abdul Azîz bin ‘Abdillâh bin Bâz, Cet. Muassasah al-Haramain al-Khairiyyah
- Durûs Fi Syarhi Nawâqidhil Islâm, Syaikh Shâlih bin Fauzân al-Fauzân, Cet. Ke-tiga, Maktabatur Rusyd

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XIII/1431H/2010M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858197]
_______
Footnote
[1]. Lihat Durûs Fi Syarhi Nawâqidhil Islâm, hlm. 20-21
[2]. Majmû’ Fatâwâ Wa Maqalât Mutanawwi’ah, 8/15
[3]. Majmû’ Fatâwâ Wa Maqalât Mutanawwi’ah 8/15
[4]. Lihat Durûs Fî Syarhi Nawâqidhil Islâm, hlm. 21
[5]. Majmû’ Fatâwâ Wa Maqâlât Mutanawwi’ah, 8/15-17
[6]. Lihat Durûs Fi Syarhi Nawâqidil Islâm, hlm. 24
[7]. Majmû’ Fatâwâ Wa Maqâlât Mutanawwi’ah, 8/17-18
[8]. Lihat Durûs Fi Syarhu Nawâqidil Islâm, hlm. 24

Senin, 04 April 2011

Sedikit Di Atas Sunnah Lebih Baik Daripada Banyak Di Atas Bid’ah



 Ifrath adalah sikap ghuluw yaitu berlebih-lebihan dalam beramal dan melampaui batas-batas sunnah yang diajarkan oleh Rasulullahshalallahu ‘alaihi wa sallam sampai tercebur ke dalam berbagai macam bid’ah yang sama sekali tidak terdapat dalam Al-Qur’an, tidak tersebut dalam As-Sunnah dan tidak pula dikenal oleh para shahabat radlyiallahu ‘anhum. Dan orang yang beramal dengan sikap ifrath ini, mereka mengerjakannya dalam keadaan yakin bahkan sangat yakin bahwa hal ini adalah taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah. Maka bagaimana kiranya mereka akan bertaubat???
Dalam riwayat yang shahih Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Sesungguhnya Allah menghalangi taubat setiap pelaku kebid’ahan.” (HR. Baihaqi, Thabrani, dan lain-lain)

Karena hadits ini mungkin baru bagi kita maka perlu kiranya kita perhatikan keterangan Syaikh Al-Albani tentang keshahihannya. Beliau berkata : “Sanad (hadits) ini shahih. Dan para perawinya terpercaya (tsiqah) termasuk para perawi (yang dipakai) oleh dua syaikh (Bukhari dan Muslim), kecuali Harun bin Musa, yaitu Al-Farawi. Berkata An-Nasai dan diikuti oleh Al-Hafidz (Ibnu Hajar) dalam At-Taqrib : 'Dia tidak mengapa (la ba’sa bihi).' Berkata Al-Haitsami dalam Majma’ Az-Zawaid 10/189 : 'Diriwayatkan oleh Thabrani dalam Al-Ausath dan para perawinya termasuk perawi kitab shahiha’in (Bukhari Muslim), selain Harun bin Musa Al-Farawi. Tetapi diapun tsiqah.' Berkata Al-Mundziri dalam At-Targhib 1/45 : 'Diriwayatkan oleh Thabrani dengan sanad HASAN.' " (Lihat Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah oleh Syaikh Al-Albani jilid 4 hal. 154 hadits no. 1620)

Demikianlah bahaya bid’ah yang kebanyakan disebabkan oleh sikap ghuluw. Allah akan menjauhkan dan menghalangi pelakunya dari taubat. Dan inilah yang menyebabkan para ulama menyatakan bahwa pelaku bid’ah tidak akan berpindah, kecuali kepada yang lebih jelek daripadanya sebagaimana dinukil oleh Imam As-Syathibi dalam Al-I’tisham diantaranya :

Dari Yahya bin Abi Amr Asy-Syaibani bahwa dia berkata : "Bahwasanya dikatakan : 'Allah enggan dengan  taubat setiap pelaku bid’ah dan tidaklah berpindah pelaku bid’ah kecuali kepada bid’ah yang lebih jelek.' "

Dan yang seperti itu dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu  bahwa dia berkata : “Tidaklah seseorang berada di atas suatu pendapat dari kebid’ahan kemudian meninggalkannya, kecuali berpindah kepada yang lebih jelek dari itu.”

Juga dari Ibnu Syaudzab dia berkata : “Aku mendengar Abdullah Ibnul Qasim berkata : Tidaklah seorang hamba berada di atas Al-Hawa (kemudian) meninggalkannya, kecuali berpindah kepada sesuatu yang lebih jelek daripadanya. (Atsar-atsar di atas dinukil dari kitab Al-I’tisham oleh Imam Asy-Syathibi 1/12-163 dengan tahqiq Syaikh Salim Al-Hilali)

Demikianlah keadaan Ahli Bid’ah yang menambah-nambah Dien ini dengan syariat-syariat baru, aturan ibadah baru, penilaian baru, anggapan baru, keyakinan baru, cara berdakwah baru, dan perkara baru yang lain yang tidak pernah dikenal oleh para shahabat, tabi’in maupun tabiut tabi’in. Memang bisa jadi mereka berniat baik, tetapi melampaui batas dan berlebih-lebihan hingga keluar dari sunnah. Inilahghuluw.

Kalau seseorang sudah menganggap baik (istihsan) perkara-perkara yang muhdats (bid’ah), sungguh sangat tipis harapan untuk bertaubat. Berkata Imam As-Syatibi setelah menukil atsar dan hadits di atas  : “… jika seorang pelaku bid’ah keluar darinya (ruju’) maka sesungguhnya dia keluar kepada yang lebih jelek daripadanya sebagaimana dalam hadits Ayyub. Atau dia termasuk yang menampakkan seakan-akan  rujuk padahal setelah itu dia tetap berada di atas kebid’ahan tersebut seperti kisah Ghailan bersama Umar bin Abdul Aziz." (Al-I’tisham 1/163)
Yang dimaksud dengan hadits Ayyub adalah sebagai berikut : Dari Ayyub dia berkata :“Ada seseorang berpendapat dengan suatu pendapat (yang bid’ah, pent) kemudian rujuk, maka aku mendatangi Muhammad dengan gembira karena itu, untuk mengabarkan kepadanya. Aku mengatakan : 'Tidakkah engkau merasa senang bahwa si fulan telah meninggalkan pendapatnya yang pernah diucapkannya?' Maka dia berpendapat : 'Lihatlah ke mana dia berpindah? Sesungguhnya akhir hadits lebih dahsyat dari awal hadits atas mereka : Mereka keluar dari Dien … kemudian tidak akan kembali (kepadanya)." (Al-I’tisham 1/163) (Yang dimaksud adalah hadits tentang khawarij yang diriwayatkan oleh Muslim)

Sedang kisah Ghailan adalah sebagai berikut :
“Diriwayatkan oleh Amru bin Muhajir : Sampai berita kepada Umar bin Abdul Aziz bahwa Ghailan Al-Qadari berbicara tentang taqdir. Maka beliau mengutus seseorang kepadanya dan memenjarakannya beberapa hari. Kemudian dia dihadapkan kepada Umar bin Abdul Aziz dan beliau berkata : 'Berita apa yang sampai kepadaku ini tentangmu?' Berkata Amir bin Muhajir (periwayat) : 'Aku isyaratkan kepadanya agar tidak berbicara sesuatupun.' Tetapi dia (Ghalian) berkata : 'Ya! Wahai Amirul Mukminin. Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla berfirman' :'Bukankah telah datang atas manusia suatu waktu dari masa, sedangkan dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut. Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur, yang Kami hendak mengujinya, oleh karena itu Kami menjadikan dia mendengar dan melihat. Sesungguhnya Kami telah menunjukinya kepada jalan itu. Ada yang bersyukur, adapula yang kufur.' (Al-Insan : 1-3)
(Maksudnya dia menolak taqdir dengan ayat ini, pent).
Maka berkatalah Umar bin Abdul Aziz : 'Bacalah sampai akhir surat.' [ 'Dan tidaklah kalian berkehendak (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dia memasukkan siapa yang dikehendaki-Nya ke dalam rahmat-Nya dan bagi orang-orang yang dhalim disediakan adzab yang pedih.' (Al-Insan:30-31) ]
Kemudian berkata : 'Apa yang akan kamu katakan wahai Ghailan?' Dia menjawab: 'Aku katakan, aku dahulu buta dan engkau telah membuat aku melihat. Aku dahulu tuli dan engkau telah membuat aku mendengar. Dan aku dulunya sesat dan engkau telah menunjukiku.' Maka berkatalah Umar rahimahullah : 'Ya Allah, jika benar hamba-Mu Ghailan jujur, kalau tidak saliblah dia.'
Setelah itu Ghailan berhenti dari ucapannya tentang taqdir hingga meninggallah Umar bin Abdul Aziz rahimahullah. Kemudian khilafah berpindah ke tangan Hisyamrahimahullah. Maka mulailah Ghailan berbicara tentang taqdir. Kemudian Hisyam mengutus seseorang kepadanya dan memotong tangannya. Ketika itu lewatlah seseorang sedangkan lalat hinggap di tangan Ghailan maka berkatalah dia : 'Wahai Ghailan! Ini adalah qadla dan qadhar (takdir)!' Dia berkata : 'Engkau berdusta, demi Allah! Ini bukanlah qadla dan qadar.' Ketika Hisyam mendengarnya dia mengutus kembali utusannya dan menyalibnya." (Dinukil secara makna dari Al-I’tisham 1/85-86)

Demikianlah para pelaku bid’ah, jauh dari taubat dan berakhir dengan su’ul khotimahWal’iyadzubillah.
Kiranya cukup yang demikian bagi kita untuk berhati-hati dari bid’ah dan beramal dengan sunnah.
Berkata para Salafussholih : Sederhana dalam sunnah lebih baik daripada bersungguh-sungguh (tetapi) dalam bid’ah.

Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid berkata : “Kalimat emas ini telah shahih riwayatnya dari shahabat, tidak hanya seorang. Seperti diantaranya Abu Darda dan Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhuma. Sebagaimana dalam kitab Syarah Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah wal Jama’ah hal. 114-115, Kitab As-Sunnah oleh Ibnu Nashr hal.27-28 dan Kitab Al-Ibanah oleh Ibnu Baththah 1/320 dan lain-lain.” (Lihat Ilmu Ushulil Bida’ oleh Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid hal. 55)

Demikianlah kalimat yang memberikan manhaj besar bagi seorang Muslim. Dalam amalan dan ucapannya agar selamat dari ghuluw dan diterima di sisi AllahSubhanahu wa Ta’ala. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala menerima amalan yang paling baik bukan yang paling banyak. Sedangkan yang paling baik adalah yang paling cocok dengan sunnah. Allah berfirman :

"Yang menciptakan mati dan hidup untuk menguji kalian siapa yang terbaik amalannya." (Al-Mulk : 2)

Fudlail bin Iyadl berkata : “Yang paling baik amalnya adalah yang paling ikhlas dan paling benar (cocok dengan sunnah, pent).”

Diriwayatkan pula dari Ubay bin Ka’ab radhiallahu ‘anhu bahwa dia berkata : “Sesungguhnya sederhana di atas jalan dan sunnah lebih baik daripada bersungguh-sungguh dalam menyelisihi jalan dan sunnah, maka lihatlah jika amal kalian sederhana atau sungguh-sungguh hendaklah berada di atas manhaj para nabi dan sunnah mereka shalallahu ‘alaihi wa sallam.” (Al-Lalika’i dalam Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah 1/54 no. 10)
Dengan ucapan beliau di atas jelas bahwa maksud ucapan para shahabat bukanlah agar kita sedikit mengamalkan sunnah, tapi agar berhati-hati dari sikap ghuluw, yaitu berlebih-lebihan dalam ibadah hingga keluar dari sunna dan masuk ke dalam berbagai macam bid’ah. Lebih baik sedikit tetapi di atas sunnah daripada beramal dengan bidah-bid’ah walaupun sangat banyak dan besungguh-sungguh. Bahkan tidur dengan cara sunnah lebih baik daripada bangun malam dengan cara bid’ah, sebagaimana dikatakan oleh Abul Ahwash rahimahullah ketika berkata pada dirinya :

Wahai Sallam (nama beliau), tidur di atas sunnah lebih baik daripada engkau bangun di atas bid’ah.
Demikian semoga Allah menjaga kita dari ghuluw dan melampaui batas-batas sunnah dan memberikan taufiq kepada kita dan seluruh kaum Muslimin kepada jalan yang lurus, beramal dengan sunnah dan selamat dari bid’ah.

Jumat, 01 April 2011

April Mop, Budaya Jahiliyah

April Mop, dikenal dengan “April Fools’ Day” dalam bahasa Inggris, diperingati setiap tanggal 1 April setiap tahun. Pada hari ini, orang dianggap boleh berbohong atau memberi lelucon kepada orang lain tanpa dianggap bersalah. Hari ini ditandai dengan tipu-menipu dan lelucon lainnya terhadap teman dan tetangga, dengan tujuan mempermalukan mereka-mereka yang mudah ditipu. Di beberapa negara, lelucon hanya boleh dilakukan sebelum siang hari. (April Fool’s Day BBC)
Ironinya budaya ini pun diikuti oleh sebagian kaum muslimin dengan latahnya. Untuk itulah, saya menurunkan ulasan dari seorang ahli hadits terkenal, DR. Âshim al-Qaryûtî, murid ahli hadits zaman ini, Muhammad Nâshiruddîn al-Albânî. DR. ‘Âshim dikenal sebagai seorang peneliti dan pembahas ulung, yang biasa berkutat di manuskrip-manuskrip dan naskah kuno peninggalan ulama salaf. Bahkan beliau lah yang ditugasi untuk merawat dan merestorasi manuskrip-manuskrip di Perpustakaan Universitas Islam Madinah. (Abu Salma)
Fadhîlah asy-Syaikh, DR. ‘Âshim al-Qaryûtî hafizhahullâhu berkata :
الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على نبيه الصادق الأمين إمام المتقين وبعد
Segala puji hanyalah milik Alloh Pemelihara semesta alam. Sholawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi-Nya yang Jujur lagi tepercaya, penghulu hamba-hamba-Nya yang bertakwa. Wa ba’d :
Sesungguhnya dusta/bohong itu merupakan penyakit besar, karena bohong termasuk dosa yang paling buruk dan cela (aib) yang paling jelek. Dusta juga dijadikan sebagai indikasi dan tanda-tanda kemunafikan dan pelakunya dianggap jauh dari keimanan. Rasulullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam sendiri adalah orang yang paling benci dengan kedustaan. Dusta dan iman tidak akan pernah bersatu kecuali salah satunya pasti mendepak yang lainnya. Dusta itu menimbulkan keraguan dan kerusakan bagi pelakunya.
Sesungguhnya, menyerupai orang kafir (tasyabbuh bil kufroh) itu dilarang di agama kita, bahkan kita diperintahkan untuk menyelisihi orang kafir. Karena sesungguhnya menyerupai mereka walaupun hanya sekedar lahiriyah saja, namun ada kaitannya dengan batiniyah. Sebagaimana ditunjukkan oleh dalil-dalil al-Qur`ân dan sunnah nabawiyah. Cukuplah kiranya bagi kita sabda Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam :
ألا إن في الجسد مضغة إذا صلحت صلح الجسد كله وإذا فسدت فسد الجسد كله، ألا وهي القلب
Ketahuilah, bahwa sesungguhnya di dalam jasad itu ada segumpal daging, yang apabila segumpal daging itu baik maka baiklah seluruh jasadnya, dan apabila buruk maka buruklah seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati.
Dan bahaya yang paling besar di dalam menyerupai orang kafir itu adalah, apabila perkaranya berkaitan dengan urusan i’tiqâdî (keyakinan).
Ritual “April Mop” merupakan bentuk taklid buta. Betapa sering kita melihat dan mendengar ritual bohong ini berimplikasi buruk, menimbulkan rasa dengki, dendam, saling memutus sillaturrahim dan saling membelakangi diantara manusia. Betapa sering ritual bohong ini menyebabkan terjadinya keretakan ukhuwah (persaudaraan) dan percekcokan di dalam keluarga. Betapa sering hal ini membuahkan keburukan dan menyebabkan kerugian baik materil maupun moril, dan lain sebagainya. Dan ini semua disebabkan oleh taklid, membebek kepada kebiasaan kuno mayoritas bangsa Eropa.
Adapun bulan April merupakan bulan keempat dari tahun masehi (gregorian). April sendiri asalnya merupakan derivasi kata dari bahasa Latin “Aprilis” di dalam sistem kalenderisasi Romawi kuno. Bisa juga merupakan derivat kata dari predikat (kata kerja) bahasa Latin “Arerire” yang berarti “membuka” (fataha), yang menunjukkan permulaan musim semi, ketika kuntum bunga bermunculan dan bunga-bunga bermekaran.
Bulan April merupakan permulaan tahun yang menggantikan bulan Januari (Kânûn ats-Tsânî, bahasa Suryani, pent.) di Perancis. Pada Tahun 1654, Raja Perancis, Charles VII memerintahkan untuk merubah awal tahun menjadi bulan Januari menggantikan bulan April. Adapula penjelasan lain yang mengembalikan sebagian (kalenderisasi) kepada Greek (Yunani), sebab bulan April adalah permulaan musim semi. Bangsa Romawi mengkhususkan hari pertama bulan April untuk merayakan hari “Venus”, yang merupakan simbol kasih sayang, keindahan, kesenangan, riang tawa dan kebahagiaan. Para janda dan gadis-gadis berkerumun di Roma tepatnya di kuil Venus, mereka menyingkapkan kekurangan (cacat) fisik dan mental mereka, berdoa kepada dewi Venus supaya menutup cacat ini dari pandangan pasangan mereka.
Adapun bangsa Saxon, mereka merayakan di bulan ini untuk memperingati dewa-dewa mereka, hari “Easter” (Paskah), yang merupakan salah satu dewa kuno, nama yang sekarang dikenal sebagai festival paskah menurut kaum kristiani di dalam bahasa Inggris.
Setelah ulasan di atas, jelaslah bagi kita bahwa bulan April ini memiliki urgensi yang spesial di tengah-tengah bangsa Eropa kuno.
Belum diketahui asal muasal ritual kebohongan ini (April Mop) secara khusus dan ada beberapa versi pendapat tentangnya. Sebagiannya berpendapat bahwa ritual ini berkembang beserta dengan perayaan muslim semi, yang dirayakan siang malam pada tangga 21 Maret.
Sebagian lagi berpandangan bahwa bid’ah ini bermula di Perancis pada tahun 1564, setelah pewajiban kalenderisasi baru –sebagaimana telah berlalu penjelasannya-, ada seseorang yang menolak kalenderisasi baru ini, maka pada hari pertama bulan April, dia menjadi korban sejumlah orang yang mempermalukan dirinya dan mencemoohnya sehingga jadilah hari ini sebagai waktu untuk mengolok-olok orang lain.
Sebagian lagi berpendapat bahwa bid’ah ini meluas hingga ke zaman kuno dan perayaan paganis, disebabkan korelasinya yang erat dengan historinya yang spesifik pada permulaan musim semi, yaitu merupakan peninggalan ritual paganis yang tersisa. Ada juga yang mengatakan bahwa berburu (menangkap ikan) di sebagian negeri akan mendapatkan jumlah yang sedikit di permulaan hari penangkapan pada sebagian besar waktu. Dan inilah yang menjadi landasan rituan kebohongan yang terjadi pada awal bulan April.
Masyarakat Inggris memberikan nama pada hari awal bulan April sebagai hari untuk semua canda tawa dan lelucon, “All Fools Day”. Mereka mengisinya dengan perbuatan bohong yang terkadang dikira benar oleh orang yang mendengarnya, sehingga ia menjadi korban/obyek cemoohan.
Ritual April Mop ini, disebutkan pertama kali ke dalam bahasa Inggris di Majalah “Drakes Newsletter” yang diterbitkan pada hari kedua bulan April tahun 1698 M. Majalah ini menyebutkan bahwa sejumlah orang menerima undangan untuk menghadiri proses ‘bilasan hitam’ di tower London pada pagi hari awal bulan April.
Diantara kejadian populer yang pernah terjadi di Eropa pada awal April adalah surat kabar berbahasa Inggris “Night Star” pada tanggal 31 Maret 1864 mengumumkan bahwa besok –awal April- akan diadakan pelepasan keledai massal di lahan pertanian kota Aslington Inggris, maka orang-orang pun berbondong-bondong datang untuk menyaksikan hewan tersebut dan dan berkerumun sembari berbaris menunggu. Setelah menunggu cukup lama, mereka pun bertanya kapan waktu dilepaskannya keledai-keledai tersebut, dan mereka tidak mendapati apa-apa. Akhirnya mereka pun sadar bahwa mereka (telah terkecoh) datang dengan bergerombol dan berkerumun seakan-akan mereka inilah keledainya!!!
Apabila Anda terheran-heran, maka lebih mengherankan lagi apa yang diduga oleh sebagian orang tentang kebohongan ini ketika mereka terkecoh, dengan serta merta mereka berteriak, “april mop”! Seakan-akan mereka menghalalkan kebohongan, wal’iyâdzu billâh. Kami mengetahui bahwa kedustaan itu tidak boleh walaupun hanya untuk bercanda. Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam bersabda :
ويل للذي يحدث بالحديث ليضحك به القوم فيكذب، ويل له، ويل له
“Celakah orang yang bercerita untuk membuat suatu kaum tertawa namun ia berdusta, celaka dirinya dan celaka dirinya.”
Memang, telah tetap (hadits-hadits yang menjelaskan) bahwa Rasulullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam pernah bercanda, akan tetapi beliau tidak pernah berkata di dalam candanya melainkan kebenaran. Canda Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam ini, di dalamnya terdapat nilai kebaikan bagi jiwa para sahabatnya, menguatkan rasa cinta, menambah persatuan, dan meningkatkan semangat dan kekuatan. Yang menunjukkan hal ini adalah sabda beliau Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam :
والذي نفسي بيده لو تداومون على ما تكونون عندي من الذكر لصافحتكم الملائكة على فرشكم وفي طرقكم، ولكن يا حنظلة ساعة وساعة
Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya kalian selalu berada dalam kondisi sebagaimana ketika berada di sisiku dan terus-menerus sibuk dengan dzikir niscaya para malaikat pun akan menyalami kalian di atas tempat pembaringan dan di jalan-jalan kalian. Namun, wahai Hanzhalah. Ada kalanya begini, dan ada kalanya begitu.” Beliau mengucapkan sebanyak tiga kali.
Perlu dicatat, bahwa kebanyakan bercanda itu dapat merusak murû`ah (kewibawaan) seseorang dan merendahkan dirinya, walaupun meninggalkan semua bentuk canda menyebabkan kepahitan (hidup) dan jauh dari sunnah dan sirah nabawiyah. Sebaik-baik urusan adalah yang pertengahan. Di antara keburukan banyak bercanda adalah melalaikan dari mengingat Allah, menyebabkan hati menjadi keras, membawa sikap dendam dan hilangnya kasih sayang. Bercanda menyebabkan banyak tertawa sehingga dapat mengeraskan hati. Secara umum, bercanda itu sepatutnya tidak dilakukan secara terus menerus dan menjadi kebiasaan. Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam. Demikianlah akhir dari seruan kami, segala pujian hanyalah milik Allah Rabb semesta alam.
Sumber : http://kulalsalafiyeen.com/vb/showthread.php?t=3819
Penerjemah: Abu Salma
Artikel www.abusalma.net, dipublish ulang oleh www.muslim.or.id